Pentingnya Belajar Ilmu Nahwu
Ketahuilah wahai penuntut ilmu – semoga Allah merahmatimu dan kami – bahwa mempelajari ilmu Nahwu merupakan salah satu ilmu terpenting yang semestinya engkau bersungguh-sungguh dalam mempelajarinya. Banyak dari kalangan salaf dan ulama yang telah menganjurkan hal ini, dan telah diriwayatkan beberapa perkataan mereka dalam masalah ini:
Umar bin Khathab radhiyallāhu 'anhu [wafat 24 H] berkata: "Pelajarilah bahasa Arab, karena ia meneguhkan akal dan menambah kewibawaan."[1]
Beliau radhiyallāhu 'anhu juga berkata: "Pelajarilah Nahwu sebagaimana kalian mempelajari sunnah-sunnah dan kewajiban-kewajiban (fardhu)."[2]
Dan beliau radhiyallāhu 'anhu berkata: "Pelajarilah I'rab (analisis gramatikal) Al-Qur'an sebagaimana kalian mempelajari hafalannya."[3]
Beliau radhiyallāhu 'anhu juga menulis surat kepada Abu Musa Al-Asy'ari radhiyallāhu 'anhu [wafat 44 H]: "Adapun setelahnya, Dalamilah As-Sunnah, dan dalamilah bahasa Arab."[4]
Ubay bin Ka'ab radhiyallāhu 'anhu [wafat 21 H] berkata: "Pelajarilah bahasa Arab sebagaimana kalian mempelajari hafalan Al-Qur'an."[5]
Dan adalah Abdullah bin Umar [wafat 73 H] radhiyallāhu 'anhū pernah memukul anaknya karena melakukan al-lahnu, yaitu kesalahan dalam tata bahasa (Nahwu).[6]
Berkata Mujāhid bin Jabr [wafat 104 H] rahimahullāh: "Tidak halal bagi seorang yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir untuk berbicara (menafsirkan) tentang Kitabullah jika dia tidak menguasai bahasa-bahasa Arab."[7]
Berkata Abdul Malik bin Marwan [wafat 86 H] rahimahullāh: "Kesalahan tata bahasa (al-lahnu) dalam ucapan itu lebih buruk daripada cacat/sobek pada pakaian yang mahal."[8]
Dan dikatakan kepadanya: "Wahai Amirul Mukminin, ubanmu terlihat cepat sekali memutih." Beliau menjawab: "Yang memutihkan ubanku adalah (kewajiban) naik ke mimbar (untuk berkhutbah) dan berhati-hati dari kesalahan tata bahasa (al-lahnu)."[9] Maksudnya adalah rasa takut untuk melakukan kesalahan dalam i'rab (tata bahasa Arab).
Berkata Maslamah bin Abdul Malik [wafat 120 H] rahimahullāh: "Kesalahan tata bahasa (al-lahnu) dalam ucapan itu lebih jelek daripada bekas cacar di wajah."[10]
Berkata Ayyub As-Sikhtiyani [wafat 131 H] rahimahullāh: "Pelajarilah Nahwu karena sesungguhnya ia adalah sebuah keindahan bagi orang yang rendah (kedudukannya), dan meninggalkannya adalah sebuah aib bagi orang yang mulia."[11]
Berkata Al-Khalil bin Ahmad [wafat 170 H] rahimahullāh: "(Suatu saat) Ayyub As-Sikhtiyani melakukan kesalahan bahasa (lahna), maka ia pun berkata: 'Aku memohon ampunan kepada Allah'."[12]
Berkata Malik bin Anas [wafat 179 H] rahimahullāh: "Jika didatangkan seorang lelaki kepadaku yang menafsirkan Kitabullah (Al-Qur'an) padahal ia bukan ahli dalam bahasa Arab, niscaya akan kujadikan ia sebagai pelajaran (dengan memberikan hukuman)."[13]
Berkata Asy-Syafi'i [wafat 204 H] rahimahullāh: "Barangsiapa yang mendalami ilmu Nahwu, niscaya ia akan mendapat petunjuk kepada seluruh ilmu."[14]
Berkata Al-Ashma'i [wafat 216 H] rahimahullāh: "Ketakutan terbesar yang aku khawatirkan menimpa seorang penuntut ilmu, jika ia tidak menguasai Nahwu, adalah ia termasuk dalam sabda Nabi ﷺ: 'Barangsiapa yang sengaja berdusta atas namaku, maka hendaklah ia mengambil tempat duduknya di Neraka.'[15] Karena Nabi ﷺ tidak pernah melakukan kesalahan bahasa (yallianu). Maka, apa pun yang engkau riwayatkan dari Beliau, jika engkau melakukan kesalahan bahasa (dalam meriwayatkannya), berarti engkau telah berdusta atas Beliau."[16]
Berkata Ibnu Jinni [wafat 392 H] rahimahullāh: "Kebanyakan orang dari kalangan ahli syariat yang tersesat dari tujuan yang benar di dalamnya, dan menyimpang dari jalan lurus yang mengantarkan kepadanya, sesungguhnya yang menyesatkannya dan membuat pemahamannya menjadi ringan (lemah) adalah kelemahannya dalam menguasai bahasa Arab yang mulia dan agung ini, yang menjadi bahasa pengantar bagi seluruh umat (dalam memahami syariat)."[17]
Berkata Ibnu Hazm [wafat 456 H] rahimahullāh: "Wajib atas seorang faqih (ahli fikih) untuk menguasai bahasa Arab, agar dapat memahami (wahyu) dari Allah ‘Azza wa Jalla dan dari Nabi ﷺ. Ia juga harus menguasai ilmu Nahwu, yang dengannya dapat dipahami makna-makna ucapan yang ditunjukkan oleh perbedaan harakat dan bentuk kata-kata.
Maka, barangsiapa yang jahil (tidak tahu) tentang bahasa (Arab) dan jahil tentang Nahwu, sehingga ia tidak menguasai lisan (bahasa) yang Allah Ta'ala dan Nabi kita ﷺ gunakan untuk berbicara kepada kita, dan barangsiapa yang tidak menguasai bahasa tersebut, tidak halal baginya untuk memberikan fatwa dalam urusan (agama) ini, karena berarti ia memfatwakan sesuatu yang tidak ia ketahui. Padahal Allah Ta'ala telah melarang hal itu dalam firman-Nya: 'Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungjawabannya.' (QS. Al-Isra': 36)."[18]
Berkata Ibnu Ash-Shalah [wafat 643 H] rahimahullāh: "Wajib atas penuntut ilmu hadits untuk mempelajari Nahwu dan bahasa (Arab) sekadar yang dapat menyelamatkannya dari noda kesalahan bahasa (al-lahnu) dan penyimpangan (tahrif) serta keaiban yang ditimbulkan oleh keduanya."[19]
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah [wafat 728 H] rahimahullāh: "Ketahuilah bahwa membiasakan diri (berinteraksi) dengan bahasa (Arab) memberikan pengaruh yang kuat dan jelas pada akal, akhlak, dan agama. Ia juga mempengaruhi dalam meneladani generasi terbaik umat ini dari kalangan Sahabat dan Tabi'in. Dan meneladani mereka akan menambah kualitas akal, agama, dan akhlak.
Selain itu, bahasa Arab itu sendiri adalah bagian dari agama. Menguasainya adalah kewajiban. Karena memahami Al-Kitab dan As-Sunnah adalah kewajiban, dan keduanya tidak dapat dipahami kecuali dengan memahami bahasa Arab. Sesuatu yang kewajiban tidak dapat terlaksana dengan sempurna kecuali dengannya, maka hukumnya juga menjadi wajib."[20]
Beliau juga berkata: "Dan telah diketahui bahwa mempelajari bahasa Arab dan mengajarkannya adalah fardhu kifayah. Dahulu para salaf mendidik anak-anak mereka karena melakukan kesalahan bahasa (al-lahnu). Maka kita diperintahkan—baik sebagai perintah wajib maupun sunnah—untuk menjaga kaidah bahasa Arab (yang benar) dan memperbaiki lisan-lisan yang menyimpang darinya. Dengan itu, terjagalah bagi kita metode memahami Al-Kitab dan As-Sunnah, serta meneladani cara bangsa Arab dalam tutur katanya. Seandainya manusia dibiarkan dalam kesalahan bahasa mereka, niscaya hal itu merupakan suatu kekurangan dan aib."[21]
Berkata Ibnu Khaldun [wafat 808 H] rahimahullāh: "Ilmu Nahwu adalah ilmu yang paling penting dan didahulukan dari ilmu-ilmu bahasa (Arab), karena dengan ilmu inilah pokok-pokok maksud (suatu kalimat) menjadi jelas melalui petunjuk (tata bahasanya), sehingga dapat dikenali mana Pelaku (Fa'il) dan mana Obyek (Maf'ul), mana Subyek (Mubtada') dan mana Predikat (Khabar). (Ilmu ini penting) andai bukan karena (akibat buruk) tidak mengetahui dasar-dasar penyampaian makna."[22]
Sumber: Al-Mukhtasar Fii an-Nahwi karya Khalid bin Mahmud Al-Juhani, hal. 21–25.
- Lihat: Umdah Al-Kitab karya Abu Ja’far An-Nahas, hal. 37 dan Mu’jamul Udaba karya Yaqut Al-Hamawi (1/22).
- Lihat: Al-Bayan wa Tibyan, karya Al-Jahidzh (2/151).
- Lihat: Umdah Al-Kitab karya Abu Ja’far An-Nahas, hal. 37.
- Lihat: Seperti sebelumnya, hal. 36.
- Lihat: Umdah Al-Kitab, karya Abu Ja’far An-Nahas, hal. 36.
- Lihat: Seperti sebelumnya, hal. 36.
- Lihat: Al-Burhan Fii Ulumil Qur’an karya Az-Zarkasyi (1/292).
- Lihat: Uyunul Akhbar karya Dinawari (2/173).
- Lihat: Al-‘Iqdul Fariid karya Ibn ‘Abdi Rabbih (2/308).
- Lihat: Uyunul Akhbar karya Dinawari (2/174).
- Lihat: Al-Bayan wa At-Tabyiin karya Al-Jahiz (2/151).
- Lihat: Umdah Al-Kitab karya Abu Ja’far An-Nahas, hal. 37.
- Lihat: Al-Burhan fii Ulumil Qur’an karya Az-Zarkasyi (1/292).
- Lihat: Syadzarat ad-Dzahab fi Akbari man Dzahab karya Ibnu Al-Imad Al-‘Akary (2/407).
- Muttafaq ‘Alaih: HR. Al-Bukhari no. 108 dan Muslim no. 2, dari sahabat Anas radhiyallahu ‘anhu.
- Lihat: Mu’jamul Udaba karya Yaqut Al-Hamawi (1/29).
- Lihat: Al-Khosois karya Ibnu Jinni (3/248).
- Lihat: Al-Ihkam Fii Ushulil Ahkam karya Ibnu Hazm (5/126).
- Lihat: Muqaddimah Ibnu Shalah hal. 217–218.
- Lihat: Iqtidho’ Shiratil Mustaqim karya Ibnu Taimiyyah (1/527).
- Lihat: Majmu’ Al-Fatawa karya Ibnu Taimiyyah (32/252).
- Lihat: Muqaddimah Ibnu Khaldun, hal. 753.
Posting Komentar